Sejarah Sulawesi selatan cukup disoroti dalam sejarah Indonesia. Sayangnya, dalam Sejarah Nasional Indonesia
yang disusun Nugroho Notosusanto, kebanyakan hanya berupa kekerasan
saja. Dimana ditemukan tentang perang Sultan Hasanudin melawan VOC.
Juga memposisikan Arung Palaka pengkhianat karena bersekutu dengan VOC
melawan Sultan Hasanudin. Lalu ada cerita heroik Walter Monginsidi dan
selanjutnya ada pemberontakan Kahar Muzakar yang dituduh antek DI/TII,
padahal pemberontakan terjadi karena pemerintah tidak bisa
bertrima-kasih kepada bekas pejuang kemerdekaan yang kemudian ikut
berontak dengan Kahar Muzakar.
Sayangnya, Sejarah intelektulitas masyarakat Sulawesi Selatan tidak
diangkat. Padahal orang-orang Sulawesi Selatan punya cendikiawan sekelas
Karaeng Patinggalong, Syech Yusuf dan lain-lainnya. Bicara soal hukum
dan lautan, orang Bugis-Makassar memiliki Amanna Gappa. Sejarah Nasional
Indonesia, yang enam jilid dan belum lama cetak ulang itu, kebanyakan
berbicara Jawa jauh lebih banyak daripada yang lainnya.
Pergerakan nasional, sebagai titik penting Sejarah Nasional Indonesia,
dianggap banyak sejarawan sebagai masa berakhirnya perlawanan fisik
rakyat Indonesia yang menentang Pemerintah Kolonial Hindia Belanda.
Dengan kata lain, masa pergerakan, sesudah 1908, adalah waktunya
berjuang dengan otak dan otot tidak lagi dipakai. Berarti beberapa tokoh
yang melakukan perlawanan seperti Kiai Hasan di Cimereme dan tokoh lain
ditempat yang lain tidak lebih daripada perusuh saja. Mereka tentu
tidak akan menjadi pahlawan nasional karena dianggap perusuh.
Perjuangan tanpa kekerasan, atau yang dianggap perjuangan gaya modern,
yang pakai otak, sebenarnya dimulai sebelum 1908. Sebelum meninggalnya
ditahun 1904, Kartini sudah berusaha mencerdaskan kaum putri.
Sejarah Sulawesi Selatan sendiri, tidaklah hanya diisi dengan sejarah
kekerasan yang memakan nyawa saja. Tradisi intelektual sebenarnya sudah
dimulai juga menjelang abad XX. Dimana beberapa orang tua dari kalangan
berada memasukan anak-anaknya ke sekolah modern, dan jauh sebelumnya
lagi mengirim anaknya ke pesantren.
Meski orang tua terkesan opurtunis, dengan anaknya belajar di sekolah
modern, maka si anak akan mengerti perkembangan dunia dan juga bisa
mengenali musuh-musuhnya. Jangan heran jika keluarga bangsawan Jawa,
juga Bugis, mengirim anakanya ke sekolah modern.
Meski di Makassar pada zaman kolonial, hanya ada sekolah menengah. Yakni hanya sekelas Meer Uitgebrid Lager Onderwijs (MULO; setara SMP) saja, tidak ada Algemene Midelsbare School
(AMS; setara SMA) maupun Hogare Burger School (HBS; sekolah menengah 5
tahun yang lulusannya setara lulusan SMA). Jika ingin sekolah lebih
tinggi maka pemuda sulawesi selatan harus pergi ke pulau Jawa-dimana
akses pendidikannya paling maju di zaman kolonial.
Tradisi sekolah di Sulawesi Selatan, sebenarnya tidak hanya dilakukan
pemerintah kolonial pada kalangan terbatas. Banyak juga tokoh pribumi
yang membuka sekolah. We Tenriolle adalah salah satunya di Sulawesi
Selatan. Raja wanita dari Tanette ini pernah mendirikan sebuah sekolah.
Dimana sebagian muridnya adalah wanita. Dengan sekolah ini, modernisasi
di Sulawesi Selatan bisa berjalan meski palan. Karena terbatasnya akses
sekolah.
Sebenarnya, sejak dulu, dari apa yang saya baca tentang Sulawesi
Selatan, Sulawesi Selatan memiliki produk intelektual yang hebat. Mulai
dari Sureq La Galigo sampai etika kelautan Amanna Gappa. Tradisi menulis juga dilakukan dalam lontara’ dengan huruf Bugis yang bentuknya berbeda dengan huruf Jawa.
Bicara soal La Galigo, untuk sementara saya menilai, cerita ini
asli dan tidak mengadaptasi dari cerita lain dari luar. Berbeda dengan
beberapa karya Jawa seperti Arjunawiwaha yang lebih banyak dipengaruhi oleh cerita Ramayana maupun Baratayudha. Menurut saya La Galigo jelas asli Sulawesi Selatan. Tentunya orang Sulawesi Selatan harus bangga pada La Galigo.
Dari budaya pemkiran yang ada tadi, maka bisa ditarik kesimpulan bahwa
Sulawesi Selatan punya kebudayaan intelektual. Sayangnya, banyak
pemberitaan di media mengidentikan daerah ini dengan kekerasan saja.
Begitu juga dalam sejarah Indonesia, dimana sejarah Sulawesi Selatan
lebih banyak hanya menonjolkan perang dan kekerasan tanpa mengangkat
sejarah intelektualnya. Tidak mengangkat sastra dan produk hukum
lautnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar