Sabtu, 03 November 2012

Sulawesi Selatan Dalam Sejarah

Sejarah Sulawesi selatan cukup disoroti dalam sejarah Indonesia. Sayangnya, dalam Sejarah Nasional Indonesia yang disusun Nugroho Notosusanto, kebanyakan hanya berupa kekerasan saja. Dimana ditemukan tentang perang Sultan Hasanudin melawan VOC. Juga memposisikan Arung Palaka pengkhianat karena bersekutu dengan VOC melawan Sultan Hasanudin. Lalu ada cerita heroik Walter Monginsidi dan selanjutnya ada pemberontakan Kahar Muzakar yang dituduh antek DI/TII, padahal pemberontakan terjadi karena pemerintah tidak bisa bertrima-kasih kepada bekas pejuang kemerdekaan yang kemudian ikut berontak dengan Kahar Muzakar.
Sayangnya, Sejarah intelektulitas masyarakat Sulawesi Selatan tidak diangkat. Padahal orang-orang Sulawesi Selatan punya cendikiawan sekelas Karaeng Patinggalong, Syech Yusuf dan lain-lainnya. Bicara soal hukum dan lautan, orang Bugis-Makassar memiliki Amanna Gappa. Sejarah Nasional Indonesia, yang enam jilid dan belum lama cetak ulang itu, kebanyakan berbicara Jawa jauh lebih banyak daripada yang lainnya.
Pergerakan nasional, sebagai titik penting Sejarah Nasional Indonesia, dianggap banyak sejarawan sebagai masa berakhirnya perlawanan fisik rakyat Indonesia yang menentang Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Dengan kata lain, masa pergerakan, sesudah 1908, adalah waktunya berjuang dengan otak dan otot tidak lagi dipakai. Berarti beberapa tokoh yang melakukan perlawanan seperti Kiai Hasan di Cimereme dan tokoh lain ditempat yang lain tidak lebih daripada perusuh saja. Mereka tentu tidak akan menjadi pahlawan nasional karena dianggap perusuh.
Perjuangan tanpa kekerasan, atau yang dianggap perjuangan gaya modern, yang pakai otak, sebenarnya dimulai sebelum 1908. Sebelum meninggalnya ditahun 1904, Kartini sudah berusaha mencerdaskan kaum putri.
Sejarah Sulawesi Selatan sendiri, tidaklah hanya diisi dengan sejarah kekerasan yang memakan nyawa saja. Tradisi intelektual sebenarnya sudah dimulai juga menjelang abad XX. Dimana beberapa orang tua dari kalangan berada memasukan anak-anaknya ke sekolah modern, dan jauh sebelumnya lagi mengirim anaknya ke pesantren.
Meski orang tua terkesan opurtunis, dengan anaknya belajar di sekolah modern, maka si anak akan mengerti perkembangan dunia dan juga bisa mengenali musuh-musuhnya. Jangan heran jika keluarga bangsawan Jawa, juga Bugis, mengirim anakanya ke sekolah modern.
Meski di Makassar pada zaman kolonial, hanya ada sekolah menengah. Yakni hanya sekelas Meer Uitgebrid Lager Onderwijs (MULO; setara SMP) saja, tidak ada Algemene Midelsbare School (AMS; setara SMA) maupun Hogare Burger School (HBS; sekolah menengah 5 tahun yang lulusannya setara lulusan SMA). Jika ingin sekolah lebih tinggi maka pemuda sulawesi selatan harus pergi ke pulau Jawa-dimana akses pendidikannya paling maju di zaman kolonial.
Tradisi sekolah di Sulawesi Selatan, sebenarnya tidak hanya dilakukan pemerintah kolonial pada kalangan terbatas. Banyak juga tokoh pribumi yang membuka sekolah. We Tenriolle adalah salah satunya di Sulawesi Selatan. Raja wanita dari Tanette ini pernah mendirikan sebuah sekolah. Dimana sebagian muridnya adalah wanita. Dengan sekolah ini, modernisasi di Sulawesi Selatan bisa berjalan meski palan. Karena terbatasnya akses sekolah.
Sebenarnya, sejak dulu, dari apa yang saya baca tentang Sulawesi Selatan, Sulawesi Selatan memiliki produk intelektual yang hebat. Mulai dari Sureq La Galigo sampai etika kelautan Amanna Gappa. Tradisi menulis juga dilakukan dalam lontara’ dengan huruf Bugis yang bentuknya berbeda dengan huruf Jawa.
Bicara soal La Galigo, untuk sementara saya menilai, cerita ini asli dan tidak mengadaptasi dari cerita lain dari luar. Berbeda dengan beberapa karya Jawa seperti Arjunawiwaha yang lebih banyak dipengaruhi oleh cerita Ramayana maupun Baratayudha. Menurut saya La Galigo jelas asli Sulawesi Selatan. Tentunya orang Sulawesi Selatan harus bangga pada La Galigo.
Dari budaya pemkiran yang ada tadi, maka bisa ditarik kesimpulan bahwa Sulawesi Selatan punya kebudayaan intelektual. Sayangnya, banyak pemberitaan di media mengidentikan daerah ini dengan kekerasan saja. Begitu juga dalam sejarah Indonesia, dimana sejarah Sulawesi Selatan lebih banyak hanya menonjolkan perang dan kekerasan tanpa mengangkat sejarah intelektualnya. Tidak mengangkat sastra dan produk hukum lautnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar